BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Bangsa Arab
Bangsa
Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua
Nabi Nuh.Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia.Mereka berdomisili disekitar
wilayah barat daya benua Asia (al-Janub
al-Gharbi min Asia), atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar
terdiri dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir). Sedikit
sekali menyisakan wilayah yang layak ditinggali di sekitar pinggirnya, dan
daerah itu semuanya dikelilingi laut. Ketika jumlah penduduk kian bertambah, mereka harus mencari
lahan baru guna dijadikan tempat tinggal.
Mayoritas
sejarawan dan peneliti sejarah mencatat, ada dua komunitas bangsa Arab yang
pernah tinggal di wilayah Semenanjung Arabia ini, yaitu:
1.
Komunitas
pertama adalah bangsa Arab yang datang jauh hari sebelum datangnya islam,
sehingga referensi dan fakta sejarah tentang mereka sangat sulit diungkap. Hal
ini cukup beralasan, mengingat jauhnya rentang waktu serta tidak ditemukannya
indikasi eksistensi mereka dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Sejarah
mereka hanya dapat diketahui dari keterangan kitab-kitab samawi, terutama
al-Qur’an, Injil, Taurat, dan syair-syair jahiliyah. Bangsa ini selanjutnya
dikenal dengan istilah Baidah. Arab baidah adalah orang Arab yang kini tidak
ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah A’ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab
ar-Rass, dan penduduk Madyan.
2.
Komunitas
kedua adalah bangsa Baqiyah (yang masih ada). Terdiri dari dua suku besar,
yaitu Adnaniyin dan Qahthaniyin. Kabilah Adnaniyin berasal dari keturunan
Ismail ibn Ibrahim as. Dinamakan Adnaniyin karena nenek moyang dari kabilah ini
bernama Adnan, yaitu salah satu keturunan Nabi Ismail. Suku kedua dari bangsa
Baqiyah adalah kabilah Qahthan.Garis keturunan Qahthan sampai pada Yaqthan yang
dalam kitab taurat disebut Yaqzan. Nassabun (pakar genealogi) mengatakan, bahwa
Qahthan adalah nenek moyang suku-suku di negeri Yaman (Ab al-Yamaniyin).[1]
Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan Adnaniyin, dan wilayah selatan
didiami golongan Qahthaniyin. Akan tetapi, lama kelamaankedua golongan itu
membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.[2]
B.
Kondisi
Politik
Kondisi politik internal wilayah
Arabia di masa Jahiliyah menjelang kedatangan Islam pada dasarnya
terpecah-pecah, tidak mengenal kepemimpinan sentral ataupun persatuan.
Kepemimpinan politik di sana didasarkan pada suku-suku atau kabilah-kabilah
guna mempertahankan diri dari serangan suku-suku yang lain.[3]
Seluruh kesetiaan terserap dalam kelompok yang bertindak sebagai sebuah
kolektivitas untuk mempertahankan individu warganya dan untuk menghadapi
tanggung jawab bersama. Jika seorang warga teraniaya, maka klan menuntut balas
atas penganiayaan tersebut. Jika seseorang
melakukan penganiayaan, maka hal itu menjadi tanggung jawab klan.
Sebagai konsekuensi solidaritas kelompok, yang disebut asabiyah. Sebuah klan
dipimpin oleh syaikh yang biasanya dipilih oleh warga klan yang tua-tua dari
salah satu keluarga berpengaruh dan ia senantiasa bertindak setelah meminta
saran-saran mereka. Mereka menyelesaikan perselisihan internal sesuai dengan
tradisi kelompok, namun ia tidak berhak mengatur ataupun memerintah. Syaikh
haruslah seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada
pendukungnya; ia haruslah seorang yang berperilaku adil dan bijak, sabar,
pemaaf dan rajin bekerja. Di atas segalnya, ia haruslah seorang yang memiliki
keputusan yang adil untuk menghindarkan pertentangan di kalangan pengikutnya.[4]
Pada masa itu, bangsa Arab tidak
memiliki sistem atau norma yang secara ketat mengatur wilayah kehidupan sosial
baik antar individu maupun kelompok (kabilah). Tidak ada hukuman bagi pelanggar
hukum. Yang ia terima hanya sebatas kebencian atau sikap acuh dari kelompoknya.[5]
C.
Kondisi
Ekonomi
Sumber
ekonomi utama yang menjadi penghasilan orang Arab adalah perdagangan dan
bisnis.Orang-orang Arab dimasa jahiliyah sangat dikenal dengan bisnisdan
perdagangannya. Perdagangan menjadi darah daging orang-orang Quraisy sepeti
yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an : “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (Quraisy:
1-2)
Mereka
melakukan perjalanan bisnis ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim
panas.[6]
Perekonomian
bangsa Arab di negeri Yaman yang merupakan negeri yang subur, khususnya di
sekitar bendungan Ma’rib, di mana pertanian maju secara pesat dan
menakjubkan.Di masa itu juga telah berkembang industri, seperti industri kain
katun dan persenjataan berupa pedang, tombak, dan baju besi.Akan tetapi, mereka
tidak bersyukur dan justru berpaling dari ketaatan kepada Allah.Karena
kekufuran itu, Allah pun menghancurkan bendungan Ma’rib itu.
Sementara itu, mayoritas kabilah
Adnan tinggal di tengah gurun pasir dengan rumput yang sedikit untuk mengembala
domba. Mereka hidup dari susu dan dagingnya.[7]
D.
Kondisi
Moral
Memang
pada dasarnya masyarakat Arab Jahiliyah memiliki sejumlah sifat-sifat positif
dan kelebihan-kelebihan.Seperti sifat dermawan, pemberani, setia, ramah,
sederhana, serta cinta kebebasan, ingatannya kuat dan pandai bersyair.Namun,
itu semua menjadi tenggelam dan tidak mampu menampilkan moralitas tinggi
masyarakat Arab saat itu. Hal ini disebabkan oleh suatu kondisi yang
menyelimuti kehidupan mereka, yaitu kemusyrikan, kekafiran, ketidakadilan,
kejahatan dan fanatisme suku-suku sehingga menghalalkan segala cara. Di sinilah
arti Jahiliyah dapat dipahami. Mereka bukan bodoh (jahil) dalam arti buta huruf
dan tidak mengenal pengetahuan sama sekali, tetapi mereka tidak mengetahui
hakikat dan sumber kebenaran, dan tidak mengenal tuhan yang semestinya mereka
sembah.
Struktur
masyarakat menempatkan perempuan pada posisi sangat rendah, bahkan tak
terhitung sebagai manusia yang wajar. Ia dinilai identik dengan barang-barang
komoditas. Perempuan halal dijadikan gundik-gundik seorang penguasa, dimana
mereka mudah dikawini dan mudah pula diceraikan.Di saat mereka menjalani masa
haid, mereka tidak diperbolehkan untuk tidur dalam satu rumah dengan
keluarganya.Mereka harus tidur di kandang bagian belakang rumah.
Sistem
perbudakan berlaku dan berkembang di kalangan bangsa Arab.Mereka di pekerjakan
dengan sekehendak majikan, dan dijual belikan serta ditukar dengan barang
sebagai layaknya pedagang melakukan transaksi jual beli secara barter.
Kaum
bangsawan menindas rakyat jelata dengan sesuka hati dan segala cara. Maka,
perdamaian antarsuku sangat sulit diwujudkan, peperangan demi peperangan terus
terjadi di antara mereka. Penghargaan manusia didasarkan atas prestise bukan
prestasi, dan hubungan sosial ditentukan oleh ikatan darah dan emosi, bukan ikatan-ikatan
kemanusiaan dan keagamaan sebagaimana yang nanti ditawarkan oleh islam.[8]
Contoh beberapa tradisi buruk masyarakat Arab Jahiliyah
lainnya yaitu:
1. Perjudian atau maisir. Ini
merupakan kebiasaan penduduk di daerah perkotaan di Jazirah Arab, seperti Mekkah,
Thaif, Shan’a, Hijr, Yatsrib, dan Dumat al Jandal.
2. Minum arak (khamr) dan
berfoya-foya. Meminum arak ini menjadi tradisi di kalangan saudagar,
orang-orang kaya, para pembesar, penyair, dan sastrawan di daerah perkotaan.
3. Nikah Istibdha’, yaitu jika istri telah suci dari
haidnya, sang suami mencarikan untuknya lelaki dari kalangan terkemuka,
keturunan baik, dan berkedudukan tinggi untuk menggaulinya.
4. Mengubur anak perempuan hidup-hidup
jika seorang suami mengetahui bahwa anak yang lahir adalah perempuan. Karena
mereka takut terkena aib karena memiliki anak perempuan.
5. Membunuh anak-anak, jika kemiskinan
dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar prasangka bahwa kemiskinan
akan mereka alami.
6. Ber-tabarruj (bersolek). Para
wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan kecantikannya,
lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang
memujinya.
7. Lelaki yang mengambil wanita sebagai
gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan seksual secara terselubung.
8. Prostitusi. Memasang tanda atau
bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan bahwa wanita itu adalah
pelacur.
9. Fanatisme kabilah atau kaum.
10. Berperang dan saling bermusuhan
untuk merampas dan menjarah harta benda dari kaum lainnya. Kabilah yang kuat akan
menguasai kabilah yang lemah untuk merampas harta benda mereka.[9]
E.
Kondisi
Budaya
Salah satu kelebihan bangsa Arab
adalah terletak pada bahasanya.Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa rumpun
Semit yang paling sempurna dan mampu bertahan dari seleksi alam hingga Islam
datang, kemudian mengalami perkembangan sangat pesat karenanya. Mengenahi
kebudayaan sebelum islam, buku sejarah dan kebudayaan islam (Tim Penyusun Depag
RI, 1982: 11-15), menjelaskannya agak rinci sebagai mana disarikan berikut.
Berkaitan dengan kelebihan bahasa, bangsa Arab pun pandai dalam bidang sastera,
khususnya membuat syair-syair.Syair bagi mereka untuk mengungkapkan
pikiran-pikiran, pengetahuan-pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman hidupnya.
Ghalan bin Salamah dari suku Tsaqif
dalam satu minggu mampu menciptakan sekumpulan syair, lalu membacakannya di
depan forum untuk dibahas dan dikritik. Forum-forum seperti ini pada waktunya
digelar untuk umum di suatu pasar yang disebut ukadz, di dalamnya dilengkapi
dengan kegiatan pertandingan membuat dan membacakan syair-syair yang terbaik.Di
antara syair-syair yang terpilih kemudian digantungkan di dinding Ka’bah
sebagai penghargaan yang biasa disebut mu’allaqat. Tradisi semacam ini
tampaknya masih berkembang dan dimanfaatkan dalam islam sebagai alat dakwah dan
pengembangan ilmu pengetahuan bangsa Arab Islam.
Kehidupan masyarakat Arab
berpindah-pindah dari satu ke lain tempat yang di anggap dapat memberikan
kemudahan untuk hidup. Kondisi alam semacam ini membuat mereka bersikap sebagai
pemberani dan bersikap keras dalam mempertahankan prinsip dan
kepercayaan.Kondisi ini pula yang membuat mereka harus menguasai seperangkan
ilmu dan ketrampilan untuk hidup sesuai dengan lingkungannya. Misalnya, mereka
mengusai ilmu meramal jejak dan peristiwa alam yang akan terjadi, seperti kapan
turun hujan, dimana terdapat mata air, dan dimana terdapat sarang binatang
buruan serta binatang buas. Di siang hari mereka mampu membaca jejak melalui
padang pasir, sedangkan di malam hari mereka mengunakan bintang-bintang. Karena
itu, ilmu-ilmu perhitungan (semacam ramal) dan perbintangan, dalam batas-batas
tertentu, berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum islam.
Bangsa Arab juga mahir dalam membuat
dan menghafal silsilah keluarga dan nenek moyangnya. Mereka bangga dengan
kemampuan itu, karenanya mereka mampu menunjukkan hubungan dirinya dengan nenek
moyangnya yang besar-besar, sehingga mereka akan memperoleh prestise karena
keturunan. Setiap kabilah mempunyai dan mengetahui silsilah keturunannya.[10]
F.
Sistem
Kepercayaan dan Agama
Bangsa Arab sebelum Islam sebenarnya
telah mengenal keyakinan terhadap satu Tuhan (Tauhid / Monoteisme), yaitu Allah
SWT.; sebuah ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Al-Qur’an
sendiri mengakui eksistensi ajaran Ibrahim dan menyebutnya dengan nama Hanif
(agama yang lurus). Namun, beberapa abad sebelum kedatangan Islam, kemurnian
ajaran suci itu telah ternoda oleh tahayul dan khurafat, hingga sampai pada
penyekutuan (syirk) terhadap Allah SWT.Penyimpangan ini kemudian dikenal dengan
watsaniyah (penyembahan terhadap berhala / patung).[11]
Al-Syihristani, seorang sejarawan
Muslim terkemuka, mengatakan bahwa terdapat 360 berhala di Ka’bah, yang paling
terkenal adalah Hubal, yang dibawa dari Belka di Syria ke Arabia oleh Umru bin
Lahi,dengan tujuan agar bisa mendatangkan hujan ketika di mintai. Yang menarik
untuk di catat adalah Hubal di anggap bisa mendatangkan hujan,sebuah sifat khas
Tuhan yang berasal dari wilayah pertanian. Tiga patung Tuhan lain yang terkenal
di Mekkah adalah Manat, al-Lat, dan al Uzza.[12]
Bangsa Arab selatan menyembah banyak
dewa dan dewi, di antaranya yang paling terkenal adalah ‘Athar, yang dianggap
sebagai personifikasi planet Venus.Mereka juga menyembah dewa matahari yang
bernama Almaqah di Saba’, Wadd (cinta?) di Ma’in, ‘Amm di Qataban, dan Sin di
Hadramaut.Matahari juga disembah sebagai dewi Syam (matahari).Para dewa dan
dewi dipuja di berbagai tempat ibadah yang masing-masing menpunyai pengikutnya
sendiri.[13]
Kaum nomad padang pasir tidak
mempunyai agama formal atau doktrin tertentu. Mereka menganut apa yang disebut
dengan “humanisme suku”, dimana yang paling penting adalah keunggulan manusia
dan kehormatan suku.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bangsa Arab adalah salah satu
entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas lainnya
adalah Romawi dan Persia. Mereka berdomisili disekitar wilayah barat daya benua
Asia (al-Janub al-Gharbi min Asia),
atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia.
Kondisi politik internal wilayah Arabia
di masa Jahiliyah memjelang kedatangan Islam pada dasarnya terpecah-pecah, tidak mengenal kepemimpinan sentral ataupun
persatuan. Kepemimpinan politik di sana didasarkan pada suku-suku atau
kabilah-kabilah guna mempertahankan diri dari serangan suku-suku yang lain.
Sumber ekonomi utama yang menjadi
penghasilan orang Arab adalah perdagangan dan bisnis.
Salah satu kelebihan bangsa Arab
adalah terletak pada bahasanya. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa rumpun
Semit yang paling sempurna dan mampu bertahan dari seleksi alam hingga Islam
datang, kemudian mengalami perkembangan sangat pesat karenanya.
Bangsa Arab sebelum Islam banyak
yang menyembah berhala.
B.
Saran
Demikian lah makalah Sejarah
Peradaban Islam ini kami buat, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
Kami menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kritikan dan saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
[1] Tim Karya Ilmiah Purnasiswa MHM
2006, Sejarah peradaban islam 14-15.
[2] Drs. Badri Yatim, M. A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), 10.
[3] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), 14.
[4] Ira M. Lapidus; Penerjemah,
Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat
Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 19.
[5] Tim Karya Ilmiah Purnasiswa MHM
2006, Sejarah…, 16-17.
[6] Ahmad al ‘Usairy, Penerjemah: H.
Samson Rahman, Sejarah…, 72.
[7]
http://mahluktermulia.wordpress.com/2010/05/13/kondisi-bangsa-arab-pra-islam/
[8] Moh. Nurhakim, Sejarah…, 16-17
[9] http://mahluktermulia.wordpress.com/2010/05/13/kondisi-bangsa-arab-pra-islam/
[10] Moh. Nurhakim, Sejarah…, 17-19
[11] Tim Karya Ilmiah Purnasiswa MHM
2006, Sejarah…, 20-21.
[12] Asghar Ali Engineer; Penerjemah:
Imam Baehaqi, Asal-Usul dan Perkembangan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 50
[13] Ibid, 33.
[14] Ibid, 49.